Beberapa minggu terakhir, kucing peliharaan saya, namanya Lala, menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Perutnya membesar, dan ia mulai lebih sering menyendiri. Saya sudah menyiapkan kotak bersalin yang hangat di sudut ruangan, lengkap dengan handuk dan selimut lembut. Tapi ternyata, Lala punya rencana sendiri.
Pagi itu, saya menyadari Lala menghilang. Saya panik, mencari ke seluruh rumah. Ternyata, ia memilih tempat yang tak terduga: lemari bawah meja kerja, di antara tumpukan buku dan selimut tua. Saat saya temukan, Lala sudah berbaring, matanya tenang tapi penuh kewaspadaan. Ia sedang bersiap melahirkan.
Saya ingin memindahkannya ke tempat yang sudah saya siapkan, tapi ia hanya menatap saya seolah berkata, “Biarkan aku di sini.” Jadi, saya menuruti keinginannya. Saya hanya duduk tidak jauh darinya, memberi dukungan dalam diam.
Satu per satu, anak-anak kucing kecil lahir. Lala menjilati mereka dengan penuh kasih, memotong tali pusar, dan memastikan semuanya bisa menyusu. Meski sendirian, ia tahu persis apa yang harus dilakukan. Insting keibuannya begitu kuat. Saya menahan air mata melihat betapa luar biasanya seekor ibu, bahkan dalam wujud seekor kucing.
Momen itu begitu mengharukan—seekor kucing kecil, melahirkan dengan tenang, di tempat yang ia rasa aman, tanpa bantuan, hanya mengandalkan naluri dan cinta. Saya merasa terhormat bisa menyaksikannya.
Akhirnya, empat anak kucing mungil lahir dengan selamat. Lala menjilati mereka satu per satu, lalu memeluk mereka dengan tubuhnya yang lelah namun hangat. Ia memejamkan mata, mungkin merasa lega karena semuanya berjalan lancar.
Saya belajar sesuatu hari itu—tentang keberanian, naluri, dan kasih sayang seorang ibu. Meski ia hanya seekor kucing, Lala telah mengajarkan saya tentang kekuatan cinta dan ketenangan di saat paling genting.
